Sunday, January 17, 2016

I Love You, and I Can't Lose You

I don't know what it is
I don't understand how I should react
I don't have enough time to process it
It feels nice, but I am not sure if I really allowed to have it

It is love, or it is not love
I just only could assume
The heat is burned my chest
It hurts me, a lot

Well, I think it is really a love
A feeling that I never asked
A sensation that is felt so absurd
But yes, I love you and I can't lose you

17012016 18.48

Sunday, January 10, 2016

Langit Yang Sama

Aku suka memandang langit akhir-akhir ini. Entah mengapa. Tak tau, dan tak mau tau, tak juga ingin tau. Bukankah banyak hal di dunia ini terjadi tanpa alasan? So.. Yeah, aku membiarkan pertanyaan "mengapa" dalam hal ini tanpa berpasangan dengan deskripsi yang memuat penjelasan atas alasanku menyukai langit.
Seperti senja tadi. Langit kelabu tampak merata tanpa ada highlight warna biru ataupun putih. Sesiangan tadi hujan, sehingga kemungkinan sisa mendung masih ada. Memandang langit itu memberikan ketenangan. Mengingatkan juga bahwa aku adalah kecil di hadapanNya. Sangat kecil. Memandang langit juga mengingatkan aku pada seseorang yang juga terkena racun pengaruhku betapa langit sungguh sakti, sehingga memandanginya menjadi hal yang penting. Kami dulu suka memandang langit bersama. Bersama, ya, bersama. Dalam waktu yang sama, namun berjarak ratusan kilometer jauhnya. Dalam beberapa kali memandang langit, memang langitku tak pernah sama persis dengan langitnya. Tapi kami sama-sama meyakini bahwa langit yang kami pandang adalah langit yang sama. Bagaimana tidak? Langit kan hanya satu, seperti halnya bulan, ataupun matahari. Jadi, langit seakan mendekatkanku padanya. Bukan dekat secara geografis, namun secara perasaan.
Dan kini hari berganti malam. Jika tak ada bintang, maka kami tak akan bisa memperbandingkan langit kami. Tak apa, yang penting adalah keyakinan bahwa langit kami sama. 

10.01.2016-18.25

Friday, January 8, 2016

Sabar, Kompromi, dan Berdoa

Shar membiarkan buku diary nya terbuka di atas meja kerjanya. Di halaman yang terbuka terdapat tulisan "D.A.M.N.!!!" Di bawahnya tampak berbaris rapi tulisan dengan huruf kecil yang tidak begitu jelas terbaca. Di antara tulisan-tulisan tersebut, ada beberapa tetes air yang cukup membuat tinta tulisan di halaman yang terbuka itu memudar. Dia memalingkan wajahnya dari buku berwarna coklat muda itu dan memandang ke arah jendela yang berada di sebelah kanannya. Dari dalam kamarnya, Shar mendapatkan view yang langsung menuju pada bulan yang saat itu ditemani sebuah bintang yang bersinar cukup terang. Lama ia memandangi benda langit yang nampak saling setia menemani itu. Jarinya mencengkeram pena berwarna biru dengan kuat. Tanpa dia sadari, tangannya mengetuk-ngetukkan pena yang ia pegang ke atas lembaran yang hampir tak ada ruang lagi untuk menulis itu. Matanya terbuka lebar, masih memandangi bulan dan bintang, namun di saat yang sama, air matanya mengalir membanjiri pipinya yang dingin. Ia tak bersuara. Tak ada isakan sama sekali. Bahkan, helaan nafas pun tidak. 5 menit berlalu, hingga ia tak menyadari bagaimana tiba-tiba ia berada di pantai. Duduk di atas pasir putih yang kering,dan ia menyandarkan kepalanya pada bahu seseorang. Tunggu.. Bahu siapa itu? Bagaimana dia bisa berakhir di pantai? Kapan ia merencanakan sebuah liburan yang melibatkan pantai? Bukankah hingga akhir bulan jadwalnya sangat padat dengan pekerjaan marathonnya?
"Tau nggak neng?" Shar tersentak dengan suara bass yang ia dengar barusan. Apa ini? Siapa dia? Mengapa dia memanggil dengan panggilan 'neng'? Hanya satu orang yang melakukannya. Kev. Iya, hanya Kev. Tapi bagaimana mungkin ia dan Kev bisa berada di pantai dengan pemandangan maha indah ini? Langit yang berwarna orange keemasan, buih ombak putih yang berkejaran membelai bibir pantai, dan belum lagi dengan burung-burung yang tampak membelah cakrawala. Indah, lebih dari indah. Shar mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara. Oh Tuhan, itu benar Kev. Pandangan matanya yang tegas, seakan menghipnotis, membuatnya meleleh (seperti biasanya - his look, the look). Walaupun terhalang kaca mata berbingkai merah (yang sama dengan kaca mata Shar tapi saat itu tak ia kenakan), namun sorot mata melindungi dan penuh cinta-nya Kev tidak berkurang.
"Neng? Kenapa?" Suara Kev kembali memecah keheningan. Pria bermata agak sipit itu membelai lengan Shar yang sedari tadi telah dipeluknya. Hati Shar berdesir, dadanya berdegup semakin kencang. Shar tak mampu bereaksi apapun, selain reaksi alami dari orgam-organ dalam tubuhnya yang terjadi secara alami, tanpa ia kendalikan sedikitpun.
"Jangan nggak inget pesenku neng. Pokoknya sampai kapanpun, jangan pernah nggak bersyukur. Apapun yang terjadi pada kita harus kita syukuri. Bersyukur itu harus. Sesakit apapun yang kita alami, senelangsa apapun yang kita rasakan, dan setidak adil bagaimanapun kenyataan dan cobaan hidup, harus tetap bersyukur. Sabar, kompromi, dan berdoa. Tiga hal itu neng, hanya tiga hal itu saja", ucapnya panjang lebar dan mengakhiri penjelasannya dengan menyentuhkan bibirnya ke kening Shar, kali ini kedua tangannya ia lingkarkan pada badan Shar.
Oh Tuhan, apa ini? Shar memejamkan mata, menikmati lembutnya angin sore yang menyentuh wajahnya, dan merasakan kedamaian yang teramat sangat dengan ciuman Kev di keningnya. Kenyamanan..yeah, Shar merasa sangat nyaman. Berada dalam pelukan Kev adalah tempat ternyamannya. Desiran angin sore dan suara ombak mewarnai sore yang hangat kala itu. Nyanyian burung juga terdengar samar-samar dari kejauhan. Sama samar-samarnya dengan suara lain yang terdengar. Suara ponsel. Alarm. Itu adalah alarm dari ponsel Shar.
Shar membuka matanya dan meraih ponselnya yang ia letakkan di pinggir kasur. " Neng, tahajud sayang.. Love you", begitu pesan di layar alat komunikasinya yang berwarna putih itu. Jam 3 pagi. Ternyata sudah saatnya ia bangun. Dan ia tertegun menemui butiran pasir di halaman buku diarynya yang terbuka. Pada bagian bawah tertulis, "sabar, kompromi, dan berdoa"...

***

'Mengapa rindu ini selalu ada?' Shar memaki dalam hati. 'Gila kau Kev, tak semudah itu melakukan 3 hal yang selalu kau ucapkan', ujarnya lagi, masih di dalam hati. Tapi bagaimanapun, entah mengapa ia selalu menuruti apa yang Kev katakan. Jadi, ya, ia akan tetap sabar, berkompromi, dan berdoa dengan rasa rindu yang ia rasakan setiap hari terhadap Kev. Setiap hari. Seperti hari ini, dan hari-hari sebelumnya, serta hari-hari di depannya, tentu saja...

09.01.2016
10.18

Monday, January 4, 2016

Rasa Ini Bernama Rindu

Pernahkah kau merasa tak tahu apa yang kau rasakan?
Pernahkah kau mencoba menemukan jawab atas ketidaktahuanmu itu?
Pernahkah kau berhasil menemukan jawaban atas tanya yang ada?
Pernahkah kau meras cukup atas temuan yang berhasil kau dapatkan?

Aku pernah.
Dan aku yakin bahwa aku bukan satu-satunya
Aku dan hatiku pasti tak sendiri
Ada aku aku lain yang juga mengalaminya
Ada hati hati lain yang juga berpengalaman atas hal ini

"Rasanya nggak enak banget", itulah yang keluar dari bibirmu saat mengungkapkan rasa ini
Dan aku cukup memahami apa yang kau rasakan
Bukan karena aku sakti atau memiliki kemampuan lebih
Sederhana saja, aku paham karena ku juga rasakan hal yang sama. Persis.

Apa ini?
Apa namanya?
Saat jantung berdegup lebih kencang
Saat nafas berhembus lebih memburu
Saat perut semakin tak enak, bagaikan disinggahi kupu-kupu

Aku yakin, ini rindu. Bukan yang lainnya.
Aku yakin, ini rindu. Bukan yang lainnya.

Aku yakin rasa ini bernama rindu

04012016
22.40

Saturday, January 2, 2016

Your Look, That Look, The Look : Yang Tersisa dari Mimpi

Pagi ini aku terbangun seperti biasa. Jam weker digital di meja sebelah kanan dari tempat tidurku memperlihatkan angka 02.55. Seharusnya masih 5 menit lagi waktu istirahatku, dan itu berarti seharusnya ada waktu 300 detik lagi buat ku menikmati saat-saat jemariku bersatu dengan jemarimu. Yeah.. Memang ini hanya mimpi. Tapi, mimpi adalah hal ter'nyata' yang bisa aku lakukan, yang bisa aku dapatkan, saat ini. Saat ini. Aku yakin hanya saat ini. Entah mengapa Tuhan begitu cepat mengirimkan malaikatnya untuk membangunkanku. Padahal aku sangat berharap bisa lebih lama berjumpa denganmu dan berbagi cerita denganmu.
Saat bermimpi, semua terasa nyata. Bahkan setiap detiknya berjalan dengan sangat lambat, dan seakan-akan aku sangat yakin bisa menceritakan kembali apa yang terjadi selama semalaman "bersamamu". Namun, semua jalan cerita, runtutan kejadian, yang pada awalnya aku yakin bisa ku ingat dengan tepat, saat aku terjaga, seakan-akan menjadi serpihan-serpihan kisah yang sangat perlu usaha yang keras untuk menyatukan dan mengurutkan kembali. Ingatanku kah? Atau begitulah mimpi? Aku tak tahu... Yang bisa aku rasakan hanya dongkol dan jengkel. Bukan padamu, tak mungkin hal itu terjadi. Aku dongkol dan jengkel pada diriku sendiri. Apakah aku kurang keras berusaha? Entahlah, aku merasa sudah sangat keras berjuang mengingat semuanya. Tapi tetap saja, nihil.
*****
Dari kejauhan tampak sebuah mobil sedan vintage merah mendekatiku. Saat itu aku berjalan di sebuah lorong, dengan atap dan pilar-pilar berukuran sedang melingkupi jalan setapak yang berlantaikan tanah itu. Atap jalan setapak itu tampak semakin cantik dengan hiasan bunga berwarna putih dengan bagian tengahnya yang terlihat agak menguning (nggak tahu apa nama bunganya). Bunga yang sepertinya tumbuh merambat itu juga tampak semakin memperindah pilar yang ada dengan daun dan batangnya yang menjalar memutari pilar hingga ke arah bawah. Di balik kemudi, sebuah tawa sudah menyambutku. Tawa yang ingin ku miliki selamanya, tawa yang ingin ku nikmati seumur hidupku. Tawa itu milik Kev. Dia mengentikan mobilnya beberapa meter dari tempatku berdiri. Tanpa melepaskan pandangannya dariku, ia melepas kunci mobil itu, membuka pintu, menutupnya kembali dan berjalan mendekatiku. Perut dan dadaku terasa sesak. Ada perasaan meleleh yang sulit ke deskripsikan. Aku berdiri mematung, namun gaun panjang warna gading yang ku kenakan tertiup angin. Kev telah berdiri di hadapanku, kemudian kedua tangannya menggenggam jemariku. Ia menyusupkan jari-jarinya di antara jari-jari tanganku. Dan aku merasakannya. Itu seperti nyata. Bahkan untuk sesaat aku menyangka ini benar-benar nyata. Jemari kami yang saling bertemu seolah-olah sedang benar-benar terjadi. Dia masih mengunci pandangannya ke arah mataku. Sedari tadi. Pandangannya yang sangat "dia". Aku menyebutnya " the look". Pandangan yang ku artikan sebagai, "aku akan menjagamu selamanya". Seorang sahabat pernah mengatakan padaku, "pandangan kak Kev memang bikin klepek-klepek. Tajam, tegas, tapi sekaligus hangat dan menyejukkan, apalagi mbak Shar jelas-jelas cinta sejatinya".. Hm.. Abaikan sejenak frase " cinta sejati", karena sesungguhnya pada konteks ini aku ingin menekankan bahwa pendapatku tentang "the look" adalah benar adanya.
*****
Dan tanpa ku sadari, hanya itu yang terjadi. Atau, lebih tepatnya adalah, hanya itu yang tersisa.. Tidur malam sedari jam 9 dan terbangun sebelum jam 3 pagi hanya menyisahkan scene yang tidak begitu panjang durasinya. Tak banyak detail yang bisa teringat. Namun satu hal yang aku tak mengerti adalah rasa itu. Rasa saat kau menyelipkan jemariku ke jemariku. Rasa itu entah bagaimana caranya masih terasa saat ku buka mataku. Bukan hanya rasa di hatiku, tapi juga rasa di indera kulit jariku. Mungkin karena kau selalu menggenggam jemariku, sehingga rasa itu selalu ada, dan ia akan muncul kembali saat kisah bernama mimpi hadir lagi dengan kau sebagai pemeran utamanya.
"Kriiiiiinggggggg", jam wekerku menjerit, dan dengan satu jari aku mematikannya. Tanpa menunggu lama, aku bergegas, janjian dengan Nya setiap jam 3, yang aku yakin, di bagian belahan bumi yang lain kau juga melakukan hal yang sama. Setidaknya itu yang kau pesan padaku untuk melakukannya. Dan aku melakukannya. Setiap hari.

Tuesday, December 29, 2015

Genggamanmu dalam Perjalananku

Tak seperti biasa, perjalanan pulang kali ini sangat berbeda. Menghabiskan waktu 45 menit seakan-akan seperti selamanya. Bukan lalu lintas yang teramat padat dibandingkan dengan hari-hari lain. Bukan pula cuaca ekstrim yang tak sama dengan hari-hari sebelumnya. Sepertinya ini karena tak ada engkau. Oh Tuhan.. Aku terlupa bahwa engkau telah lama hilang. Ya, lenyap tak berbekas. Dan ya, aku telah (terpaksa) terbiasa.
Ada masa di mana kau tak hanya menemaniku, berada di sisiku, dan mendampingiku. Tapi kau juga membiarkanku menggenggam tanganmu. Sepanjang jalan. Sejauh apapun itu. Kini, jangankan menggenggam tanganmu, aku bahkan tak tau kau berada di benua yang mana. Aku tak yakin daratan mana yang kau pijak. Kau dan aku sama-sama berencana mendiami sebuah tempat yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Tapi, kita hanya diizinkan olehNya untuk berencana. Saat ini. Aku yakin hanya saat ini.
Lampu lalu lintas di depanku sedari tadi menyala merah. Penanda waktu menunjukkan masih ada sekitar 26 detik lagi sebelum aku harus menginjak pedal gas. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ada pesan masuk. Tangan kiriku membuka pesan itu. Dari Kev. Apa?? Aku membelalakkan mata, dan membaca deretan tulisan di layar berwarna putih itu. "Neng, apa kbr? Aku mau ke Bandung. Bs ktmu? Kbri ya geulis ;*"... Nafasku tercekat. Itu benar-benar Kev. Ku pandangi isi pesan itu, tak percaya bahwa Kev, yang aku kira menjalani hidup di benua lain dan tidak mungkin akan bisa bertemu lagi, besok akan menginjakkan kaki di kota tempat aku bermukim. Otakku tak cukup tanggap memproses informasi yang lebih dari sekedar mengejutkan ini. Lalu terdengar suara nyaring klakson dari kendaraan di belakangku. Ternyata lampu telah berganti hijau. Aku tersenyum. Kev akan datang. Besok aku akan melihatnya. Besok akan ada Kev. Dan aku bisa meminjam tangannya lagi untuk aku genggam. Dan mungkin kali ini tak akan ku lepaskan. Ralat. Dan tak akan ku lepaskan. Tak akan.

Monday, December 28, 2015

Mencandui Air Mata

Berteman dengan air mata menjadi hal yang biasa dalam hidupku kini. Tak ada yang bisa ku lakukan selain membiarkan dan (selalu terus berusaha dan mencoba berusaha) menikmatinya. Terkadang, menarik nafas dalam-dalam bisa membantu. Bukan membantu menghapus air mata, namun lebih tepatnya adalah membantu meringankan beban berat yang mengikuti desah nafasku, sehingga air mata itu tetap ada.
Bisakah air mata itu enyah dari hari-hariku? Entahlah, kadang aku menikmatinya. Getaran yang aku rasakan di dada ini terasa sempurna dengan air mata yang mengalir. Isakan tangis ini terasa lengkap dengan hadirnya butiran kristal di kedua pipiku. Aku semacam mencandui air mata. Namun hanya itu, hanya air mata yang mencanduku. Aku tak menggemari rasa sedih yang menyertai. Aku bukan penyuka kenelangsaan tak berujung yang mewarnai langkah hidupku. Orang bilang masa depanku masih panjang, hidupku masih lama. Entahlah... Bukan mereka yang menentukan seberapa lama hidupku di dunia ini, bukan?
Aku memang mencandui air mata, tapi aku pun pada suatu titik merasakan lelah dengan tangisan ini. Hidupku akan sia-sia. Benar apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang. Teteskan air mata untuk hal-hal yang berharga dan layak mendapat tetesan air mata. Hm... Lalu, apakah ini layak untuk dicandui? Apakah air mata ini tepat? Bagiku, kau lebih dari sekedar layak. Bagiku, hal ini pantas untuk buatku menangis dan mencandui air mata. Hanya saja aku tak tahu, sampai kapan aku bisa merasa baik-baik saja mencandui air mata karenamu. Aku tak tahu, sampai kapan aku merasa baik-baik saja mencandui air mata karena hal ini.